Rabu, 14 Desember 2016

Random post

Lalu bagaimana kita menanggapi segala macam problematika yang ada di kehidupan kita sehari-hari ini yang bahkan tidak terpengaruh sama sekali dengan segala macam berita yang "lucu" yang diproduksi oleh media-media 'mainstream"? 

Di sudut selatan pulau jawa bagian tengah kehidupan masih berjalan seperti biasanya. Jalanan masih ramai, berarti banyak orang dengan banyak kepentingan berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain. Tidak ada urusan yang mendesak selain masalah ekonomi. Ketika ada pergerakan masa dalam satu arus yang menelan hampir semua masyarakat dalam sebuah daerah itu adalah pertanda gerakan. Sampai saat ini belum ada gerakan masif yang seperti itu. Mungkin ada kemarin namun hanya sementara saja karena ekonomi dan kondisi relasi intim masih jauh lebih penting. Itu juga banyak lobi-lobi dan drama-drama politik basa-basi yang diproduksi yang membuat sang eksekutor ketar-ketir karena takut ekonominya akan ambruk. Sekali lagi masalah ekonomi. 

Pun tidak beda jauh dengan lobi-lobi sang eksekutor yang katanya menjadi pemimpin negara, ujung-ujungnya adalah urusan perut. Memang sedari jaman dahulu perut dalah kunci dari emosi masyarakat, namun sekarang tidak. Perut bukan sebuah alasan lagi karena semuanya sekarang bisa mudah sekali diisi penuh, namun gensi harus memenuhi perut di tempat yang mewah dengan memakai mobil dengan istri-istri yang cantik. Levelnya sudah beda kawan, tetapi intinya sama saja, agar merasa adil untuk nafsunya sama-sama dituruti. Jangan menilai bahwa setiap kata nafsu adalah jelek karena nafsu adalah manusia itu sendiri. Kalau tidak punya nafsu berarti sudah tidak menjadi manusia lagi, tapi malaikat. Rasanya dari jaman dahulu dengan jaman sekarang waktu tetap berputar bak siklus yang bergeraknya spiral. Saya yakin pasti ada ujungnya. 

Dalam mata saya sebenarnya kebanyakan orang itu memiliki sifat yang baik. Yang menjadi soal adalah banyak orang yang belum cukup ilmu atau tidak mau menerima kebenaran. Ya sebenarnya sama lah, orang yang tidak mau menerima kebenaran berarti belum cukup ilmu untuk bisa mengetahui hal yang harus diterimanya. Ada juga penyakit 'latah'. Orang yang kurang berilmu cenderung latah. Terlalu mudah ikut arus padahal dia tidak tau kemana arah tujuan dari arus itu. Semua keadaan ini juga diperparah dengan kebutuhan diri akan penerimaan terhadap komunitasnya (eksis), kebutuhan perut dan kelaminnya. Sampai di sini orang menjadi lupa akan sebuah kehormatan. Bagaimana bisa mengerti tentang kehormatan, ilmunya saja belum sampai untuk bisa mengerti apa itu kehormatan. Jadi apakah orang yang tidak mengerti lantas bisa dimaafkan atau dianggap 0 (nol) dosa-dosanya seperti bayi yang baru lahir?

Selasa, 25 Oktober 2016

Berkaca melihat muka sendiri

Bertemu, berbicara dan mendengarkan cerita dari berbagai macam orang terkadang memang seperti kita mengaca akan aib kita sendiri dan bagaimana sebuah riya' muncul dari hati tanpa sengaja. Banyak orang-orang yang bercerita tentang hidupnya, susah kerasnya hidup dan gigihnya perjuangan untuk terlepas dari jerat derita atau menggapai sesuatu yang terkadang membuat hatinya menjadi mengembang dan meninggi. Saya rasa cukup baik ketika orang bercerita seperti itu hanya untuk berniat melegakan pikiran dan berbagi cerita serta untuk refleksi dirinya akan kehidupannya. Namun terkadang kemudian kebablasan dengan munculnya rasa bangga terhadap dirinya dan membandingkan diri dengan orang yang menjadi media dia cerita padahal dia belum mengerti benar akan orang yang ada di hadapannya itu. Bisa jadi orang itu memiliki pengalaman yang lebih berat, ilmu yang lebih tinggi, pengetahuan yang lebih luas dan kerendahan hati yang sangat lebar. Saya bayangkan diri saya sendiri ketika menjadi orang bercerita tadi dan berhadapan dengan orang itu kemudian suatu ketika saya tau sosok orang yang saya bandingkan dengan diri saya tadi, maka muka saya seolah-olah seperti keset, seperti gombal yang jadi kain pel.

Di atas langit masih ada langit. Di bawah tanah masih ada tanah.

Sabtu, 22 Oktober 2016

Problematika sistem unggas 1

gambar itik/bebek dari hkti.org
Kadang memang tidak bisa dipungkiri bahwa kita sebagai manusia sering berlaku seperti bebek, saya juga merasakannya dan sering larut. Banyak hal yang sebenarnya di luar kemampuan kita, di luar bidang kita dan bukan hak kita dalam membuat opini apalagi menjustifikasi akan suatu hal tadi tetapi kita seolah-olah bernafsu sekali untuk melontarkannya di publik. Semua hal yang berada di ranah publik seolah-oleh menjadi suatu hal yang sangat penting bagi diri kita dan bahkan menyita waktu kita melebihi apa yang seharusnya kita berikan untuk keluarga, teman dan tetangga kita. Tak jarang waktu yang ada ketika bersama keluarga tadi kita pakai untuk membahas opini publik, sedangkan waktu untuk membahas kepentingan keluarga yang hakiki menjadi tersingkirkan.

Fenomena seperti tadi saya dapati pada banyak orang yang sudah lekat atau pun baru mulai lekat dengan media publik, seperti media cetak, tv dan internet terlebih lagi media sosial. Semuanya seolah-olah seperti bebek. Satu bebek berbunyi ‘kwek-kwek-kwek’, yang lain ikutan juga ‘kwek-kwek-kwek’ tanpa tau ternyata bebek yang ‘kwek-kwek’ awal tadi cuma iseng ‘kwek-kwek’. Dengan adanya kebebasan informasi yang sepertinya semuanya terbuka dan dekat namun berasa sangat asing karena sering susah menemukan mana yang asli dan mana yang palsu. Sebuah informasi yang sangat berharga, seperti internet yang selayak secangkir ilmu hidup di dunia kemudian menjadi secangkir racun bagi orang-orang yang belum waktunya menenggaknya.

Semuanya memang kembali kepada konsep waktu dan kepantasan. Seseorang yang belum waktunya untuk lulus tidak pantas uuntuk lulus karena dikhawatirkan akan menyalahgunakan ilmunya atau pun belum cukup ilmu untuk memikul sebuah tanggung jawab yang besar yang tidak hanya dirinya yang bisa celaka tetapi orang lain juga. Mau bagaimana lagi, sekarang semuanya berubah termasuk budaya bersabar menanti proses kemudian berubah menjadi budaya instan. Tidak perlu disebutkan satu per satu karena setiap individu pasti sudah bisa membuat list sau per satu apa saja hal-hal instan yang biasa dilakukannya.

Manusia adalah makhluk unik yang senantiasa berubah. “people die everyday, people change every second”. Sebuah budaya yang mendarah daging dan menjadi sebuah dogma akan sangat lama berubah, kecuali bagi mereka yang terbuka pikirannya dan mereka-mereka yang ingin selalu menemukan kebenaran yang sesungguhnya, bukan kebenaran konvensi, kesepakatan. Hal-hal yang sederhana yang saling berkaitan satu sama lain akhirnya menjadi rumit juga, tetapi hal-hal yang rumit jika kita pilah-pilah, kita pecah-pecah sesuai dengan jenisnya akhirnya akan menjadi sederhana juga. Manusia adalah satu individu yang berasal dari dua orang yang kemudian menjadi keluarga. Keluarga-keluarga terkumpul menjadi tetangga dan masyarakat. Lalu dari mana asal-muasal persoalan dunia yang kita anggap sangat rumit  ini dan menyita sedemikian besar waktu itu berasal? Orang-orang yang sabar dan terus berusaha akan medapati bahwa coretan-coretan, lika-liku, kontur, naik turun kehidupan adalah sesuatu hal yang indah dan sebuah kenikmatan untuk menjalaninya. Kelemahan dari sistem buatan manusia masa kini, satu stasiun kerja mati maka keseluruhan proses akan terhenti, maka habislah sistem itu.  Lalu kemana lagi mereka manusia masyarakt itu akan  pulang setelah semua sistem itu hancur? ke komunitas, RT-RW, keluarga, dan akhirnya ke tanah, sistem yang belum lekang hingga saat ini. 

Bathara Karang dan Jenglot adalah Boneka Buhul

Wawasan Umum bathara karang Cerita umum yang berkembang di masyarakat mengenai jenglot atau bathara karang adalah orang sakti jaman dahulu, ...