Di sudut selatan pulau jawa bagian tengah kehidupan masih berjalan seperti biasanya. Jalanan masih ramai, berarti banyak orang dengan banyak kepentingan berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain. Tidak ada urusan yang mendesak selain masalah ekonomi. Ketika ada pergerakan masa dalam satu arus yang menelan hampir semua masyarakat dalam sebuah daerah itu adalah pertanda gerakan. Sampai saat ini belum ada gerakan masif yang seperti itu. Mungkin ada kemarin namun hanya sementara saja karena ekonomi dan kondisi relasi intim masih jauh lebih penting. Itu juga banyak lobi-lobi dan drama-drama politik basa-basi yang diproduksi yang membuat sang eksekutor ketar-ketir karena takut ekonominya akan ambruk. Sekali lagi masalah ekonomi.
Pun tidak beda jauh dengan lobi-lobi sang eksekutor yang katanya menjadi pemimpin negara, ujung-ujungnya adalah urusan perut. Memang sedari jaman dahulu perut dalah kunci dari emosi masyarakat, namun sekarang tidak. Perut bukan sebuah alasan lagi karena semuanya sekarang bisa mudah sekali diisi penuh, namun gensi harus memenuhi perut di tempat yang mewah dengan memakai mobil dengan istri-istri yang cantik. Levelnya sudah beda kawan, tetapi intinya sama saja, agar merasa adil untuk nafsunya sama-sama dituruti. Jangan menilai bahwa setiap kata nafsu adalah jelek karena nafsu adalah manusia itu sendiri. Kalau tidak punya nafsu berarti sudah tidak menjadi manusia lagi, tapi malaikat. Rasanya dari jaman dahulu dengan jaman sekarang waktu tetap berputar bak siklus yang bergeraknya spiral. Saya yakin pasti ada ujungnya.
Dalam mata saya sebenarnya kebanyakan orang itu memiliki sifat yang baik. Yang menjadi soal adalah banyak orang yang belum cukup ilmu atau tidak mau menerima kebenaran. Ya sebenarnya sama lah, orang yang tidak mau menerima kebenaran berarti belum cukup ilmu untuk bisa mengetahui hal yang harus diterimanya. Ada juga penyakit 'latah'. Orang yang kurang berilmu cenderung latah. Terlalu mudah ikut arus padahal dia tidak tau kemana arah tujuan dari arus itu. Semua keadaan ini juga diperparah dengan kebutuhan diri akan penerimaan terhadap komunitasnya (eksis), kebutuhan perut dan kelaminnya. Sampai di sini orang menjadi lupa akan sebuah kehormatan. Bagaimana bisa mengerti tentang kehormatan, ilmunya saja belum sampai untuk bisa mengerti apa itu kehormatan. Jadi apakah orang yang tidak mengerti lantas bisa dimaafkan atau dianggap 0 (nol) dosa-dosanya seperti bayi yang baru lahir?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar